Puisi-puisi Eddy Pranata PNP
Eddy Pranata PNP, sejak tahun 2004 lalu mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Sehari-hari beraktivitas di Disnav Ditjenhubla di Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016).Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Kanal, Jejak, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Batam Pos, Sumut Pos, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Radar Surbaya, Riau Realia, Flores Sastra, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Banjarmasin Pos, Suara NTB, Radar Banyuwangi, Solopos, Koran Madura, dan lain-lain.
Mematangkan Gemericik Usia
Bila suatu saat engkau pergi jauh ke pelosok desa
Dan melihat seorang lelaki bertelanjang dada
Tengah memecah batu di Sungai Cirebah
Lupakanlah. Anggap saja engkau tidak pernah melihat
Seorang pemecah batu itu
Lalu segeralah engkau pergi ke kota yang di sisi selatannya
adalah Laut yang menghampar
Di pantai yang senyap dengan karang-karangnya
yang serupa geraham
Akan kautemui seorang lelaki pemintal ombak
Temuilah. Dari legam kulit tubuhnya akan berlombatan
kata-kata serupa Puisi
Engkau boleh saja memungut kata-kata itu bila suka
Atau bila engkau justru muak karenanya
Segeralah menjauh. Menjauh saja
Atau biarkan aku jadi pemecah batu
Sepanjang sungai di kampungku. Sepanjang hidupku
Sendiri. Telah kubangun rumah kecil di pinggir sungai
Rumah kayu dengan atap rumbia
Tanpa dinding dan tanpa pagar
Aku biarkan angin menembus dari segala arah
Siapa pun boleh bertandang kapan saja
Tapi jangan sekali-kali kaubawakan aku bunga
Aku lebih suka bila kauberi sepotong senja
Sepotong senja yang jatuh dari langit gerimis
Atau biarkan aku sendiri selamanya
Menjauhi hiruk-pikuk kotamu
Debur ombak lautmu
Biarkan aku jadi pemecah batu. Sendiri
Mematangkan gemericik usia
Sepanjang sungai di kampungku.
Jaspinka, 27 April 2017
Menghilirkan Sesayat Sunyi
Dari pinggir kali Cirebah: kudengar suara tupai
bercericit, berdencir-dencir diterpa suara balam
ngganter-ngganter lalu suara air yang sesekali
berkecipak di bawah rumpun bambu
Dingin pagi serupa pintu yang tidak terkunci
pada ruang berpendar kilau cahaya
Aku memasukinya dengan penuh debar
: “dan matamu, menyimpan seribu duka!”
Matahari naik perlahan
engkau telah entah di mana, murca ditelan langit
Apakah telah menjadi cahaya, atau mungkin
menjadi batu kenangan yang memecah
di ketinggian langit
Dadaku berguncang, berdesau-desir
Aku pun menghilirkan sesayat hatiku di atas alir kali!
Jaspinka, 05 April 2017
Di Jalan Ini, di Jalan Kecil
yang Menikung ke Kanan dan ke Kiri
Di jalan ini, di jalan kecil
yang menikung ke kanan dan ke kiri—
menaiki bukit dan menuruni lembah; kutemukan
serpih-serpih sembilu menyatu dengan kabut yang turun.
Aku yakin engkau telah tidak mau mengingat jalan ini.
Tidaklah mengapa, bukankah engkau telah pergi jauh,
dan tidak ada kabar lagi.
Aku sudah mulai terbiasa menembus kabut sendiri.
Sudah terbiasa. Menyusur jalan sendiri. Biarkanlah.
Jaspinka, 13 Maret 2017
Engkau Telah Pergi Jauh
ke Belukar Kota
Di kota ini, aku dan engkau telah
membubuhkan tandatangan
di dinding sekitar taman
Hal itu kita lakukan untuk menegaskan
bahwa kita; aku dan engkau pernah cukup lama
berjalan bersama
Menikmati hangatnya kota
menelusuri mall, mendatangi
beberapa tempat kuliner
dan menghabiskan waktu senja di taman
Kita bercerita tentang langit biru
angin bertiup semilir, juga kelopak bunga
yang berguguran
Setelah itu, kita memang tidak pernah
bersua lagi
Engkau telah pergi jauh ke belukar kota
Menggapai mimpi-mimpimu
Dan satu hal yang masih bisa kukenang
adalah; airmatamu berguguran
ketika aku mengantarkan kepergianmu
ke bandara
Sering ada pertanyaan melompat
dari hatiku
Apakah engkau sungguh telah lupa
ada tandantangan kita di dinding
di sekitar taman kota?
Jaspinka, 27 Februari 2017